Selasa, 10 Januari 2017
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu
untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah
intensitas, arah, dan ketekunan.
Dalam hubungan antara motivasi dan
intensitas, intensitas terkait dengan dengan seberapa giat seseorang berusaha,
tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan
kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir,
ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan
usahanya.
Tahun 1950an merupakan periode
perkembangan konsep-konsep motivasi. Teori-teori yang berkembang pada masa ini
adalah hierarki teori kebutuhan, teori X dan Y, dan teori dua faktor.
Teori-teori kuno dikenal karena merupakan dasar berkembangnya teori yang ada
hingga saat ini yang digunakan oleh manajer pelaksana di organisasi-organisasi
di dunia dalam menjelaskan motivasi karyawan.
Teori motivasi yang
paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan milik Abraham Maslow. Ia
membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima
kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik
lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional),
sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan),
penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri
(pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).
Maslow memisahkan
lima kebutuhan ke dalam urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman
dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah sedangkan kebutuhan sosial,
penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas. Perbedaan
antara kedua tingkat tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat
atas dipenuhi secara internal sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan
dipenuhi secara eksternal.
Teori kebutuhan
Maslow telah menerima pengakuan luas di antara manajer pelaksana karena teori
ini logis secara intuitif.. Namun, penelitian tidak memperkuat teori ini dan
Maslow tidak memberikan bukti empiris dan beberapa penelitian yang berusaha
mengesahkan teori ini tidak menemukan pendukung yang kuat.
Lima fungsi utama
manajemen adalah planning, organizing, staffing, leading, dan controlling. Pada
pelaksanaannya, setelah rencana dibuat (planning), organisasi dibentuk
(organizing), dan disusun personalianya (staffing), maka langkah berikutnya
adalah menugaskan/mengarahkan karyawan menuju ke arah tujuan yang telah
ditentukan. Fungsi pengarahan (leading) ini secara sederhana adalah membuat
para karyawan melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan dan harus
mereka lakukan. Memotivasi karyawan merupakan kegiatan kepemimpinan yang
termasuk di dalam fungsi ini. Kemampuan manajer untuk memotivasi karyawannya
akan sangat menentukan efektifitas manajer. Manajer harus dapat memotivasi para
bawahannya agar pelaksanaan kegiatan dan kepuasan kerja mereka meningkat.
Berbagai istilah
digunakan untuk menyebut kata ‘motivasi’ (motivation) atau motif, antara lain
kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish), dan dorongan (drive). Dalam
hal ini, akan digunakan istilah motivasi yang diartikan sebagai keadaan dalam
pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
Motivasi menunjuk
kepada sebab, arah, dan persistensi perilaku. Kita bicara mengenai penyebab
suatu perilaku ketika kita bertanya tentang mengapa seseorang melakukan
sesuatu. Kita bicara mengenai arah perilaku seseorang ketika kita menanyakan
mengapa ia lakukan suatu hal tertentu yang mereka lakukan. Kita bicara tentang
persistensi ketika kita bertanya keheranan mengapa ia tetap melakukan hal itu
(Berry, 1997).
Suatu organisme
(manusia/hewan) yang dimotivasi akan terjun ke dalam suatu aktivitas secara
lebih giat dan lebih efisien daripada yang tanpa dimotivasi. Selain menguatkan
organisme itu, motivasi cenderung mengarahkan perilaku (orang yang lapar
dimotivasi untuk mencari makanan untuk dimakan; orang yang haus, untuk minum;
orang yang kesakitan, untuk melepaskan diri dari stimulus/rangsangan yang
menyakitkan (Atkinson, Atkinson, & Hilgard, 1983).
Sampai pada abad 17
dan 18, para pakar filsafat masih berkeyakinan bahwa konsepsi rasionalisme
merupakan konsep satu-satunya yang dapat menerangkan tindakan-tindakan yang
dilakukan manusia. Konsep ini menerangkan bahwa manusia adalah makhluk rasional
dan intelek yang menentukan tujuan dan melakukan tindakannya sendiri secara
bebas berdasarkan nalar atau akalnya. Baik-buruknya tindakan yang dilakukan
oleh seseorang sangat tergantung dari tingkat intelektual orang tersebut. Pada
masa-masa berikutnya, muncul pandangan mekanistik yang beranggapan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh manusia timbul dari adanya kekuatan internal dan
eksternal, diluar kontrol manusia itu sendiri. Hobbes (abad ke-17) mengemukakan
doktrin hedonisme-nya yang menyatakan bahwa apapun alasan yang diberikan oleh
seseorang atas perilakunya, sebab-sebab terpendam dari semua perilakunya itu
adalah adanya kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan.
Teori Motivasi dapat
diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat
persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang
bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari
luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat
motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas
perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam
kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya
tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama
dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi
psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami
motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1)
durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4)
ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan;
(5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang
hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi
atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap
terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami
tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara
lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland
(Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori
Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan;
(7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi
Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari
berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo
Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)1. Teori Abraham H.
Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang
dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa
manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan
fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan
sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata,
akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih
sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada
umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri
(self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi
kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi
kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia
itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang
unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan
tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk
dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam
kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan
dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama
diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow.
Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi
berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai
dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep
tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak
akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan-
sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi;
yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman,
demikian pula seterusnya.
Berangkat dari
kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam
penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga
memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai
kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan
kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman,
merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan
sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu
ditekankan bahwa :
1. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi
sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
2. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi
pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
3. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan
mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang
tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.Kendati
pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis,
namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori
motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat
aplikatif..2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland
dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement
(N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan
kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi
merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan
sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau
mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal
tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku.
Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak
untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland
karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri
umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat
kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul
karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti
kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan
kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
Teori X dan teori Y
Douglas McGregor
menemukan teori X dan teori Y setelah mengkaji cara para manajer berhubungan
dengan para karyawan. Kesimpulan yang didapatkan adalah pandangan manajer
mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan
bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut.
Ada empat asumsi yang
dimiliki manajer dalam teori X.
• Karyawan pada
dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk
menghindarinya.
• Karena
karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipakai, dikendalikan, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
• Karyawan akan mengindari tanggung jawab dan
mencari perintah formal, di mana ini adalah asumsi ketiga.
• Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas
semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.
Bertentangan dengan
pandangan-pandangan negatif mengenai sifat manusia dalam teori X, ada pula
empat asumsi positif yang disebutkan dalam teori Y.
• Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang
menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.
• Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan
emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
• Karyawan bersedia belajar untuk menerima,
mencari, dan bertanggungjawab. *Karyawan mampu membuat berbagai keputusan
inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang
menduduki posisi manajemen
Teori motivasi
kontemporer
David McClelland,
pencetus Teori Kebutuhan
Teori motivasi
kontemporer bukan teori yang dikembangkan baru-baru ini, melainkan teori yang
menggambarkan kondisi pemikiran saat ini dalam menjelaskan motivasi karyawan
Teori motivasi
kontemporer mencakup:
Teori kebutuhan
McClelland
Teori kebutuhan McClelland
dikembangkan oleh David McClelland dan teman-temannya.
Teori kebutuhan
McClelland berfokus pada tiga kebutuhan yang didefinisikan sebagai berikut :
o kebutuhan pencapaian: dorongan untuk
melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.
o kebutuhan kekuatan: kebutuhan untuk membuat
individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan
berperilaku sebaliknya.
o kebutuhan hubungan: keinginan untuk menjalin
suatu hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.
Teori evaluasi kognitif
Teori evaluasi
kognitif adalah teori yang menyatakan bahwa pemberian penghargaan-penghargaan
ekstrinsik untuk perilaku yang sebelumnya memuaskan secara intrinsik cenderung
mengurangi tingkat motivasi secara keseluruhan. Teori evaluasi kognitif telah
diteliti secara
Teori penentuan
tujuan
Teori penentuan
tujuan adalah teori yang mengemukakan bahwa niat untuk mencapai tujuan
merupakan sumber motivasi kerja yang utama. Artinya, tujuan memberitahu seorang
karyawan apa yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus
dikeluarkan.
Teori penguatan
Teori penguatan
adalah teori di mana perilaku merupakan sebuah fungsi dari
konsekuensi-konsekuensinya jadi teori tersebut mengabaikan keadaan batin
individu dan hanya terpusat pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia
melakukan tindakan.
Teori Keadilan
Teori keadilan adalah
teori bahwa individu membandingkan masukan-masukan dan hasil pekerjaan mereka
dengan masukan-masukan dan hasil pekerjaan orang lain, dan kemudian merespons
untuk menghilangkan ketidakadilan.
Teori harapan
Teori harapan adalah
kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu
bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan
diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu terhadap
individu tersebut.
Area motivasi manusia
Empat area utama
motivasi manusia adalah makanan, cinta, seks, dan pencapaian. Tujuan-tujuan
yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya,
individu dianggap tergerak untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik
(keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi
kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut), atau karena
motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan
oleh imbalan-imbalan eksternal.
Teori Clyton Alderfer
(Teori “ERG)
Teori Alderfer
dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan
huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan
eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan
G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga
istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara
konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh
Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki
pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki
kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna
sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer
menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya
secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa
:
a. Makin tidak
terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk
memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan
memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang
lebih rendah telah dipuaskan;
c. Sebaliknya,
semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar
keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan
ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari
keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang
dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang
mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg
(Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang
diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg.
Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi,
yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini
yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi
yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan
yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang
sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan
perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg,
yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan
seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam
karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau
pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem
imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan
dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat
faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat
intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini
terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan
antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang
diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan
yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
a. Seorang akan
berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi
intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya.
Dalam menumbuhkan
persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai
pembanding, yaitu :
a. Harapannya tentang
jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi,
seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
b. Imbalan yang
diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat
pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
c. Imbalan yang
diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta
melakukan kegiatan sejenis;
d. Peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang
merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan
dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di
bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan
timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka
akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat
kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas,
seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan
masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan
(goal setting theory)
Edwin Locke
mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan
mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d)
tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan
berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H.
Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom,
dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori
yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan
akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang
bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya
itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan
tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan dengan
cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang
menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu.
Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis,
motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan
dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai
daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian
membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta
menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu.
Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai
tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk
memperolehnya.
8. Teori Penguatan
dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau
model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model
kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan
persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya
pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam
kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang
ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan
tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut
berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini
berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa
manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang
menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat
sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik
dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian
tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut
menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja
lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan
keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga
kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai
konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya
ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari
atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran
dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai
tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada
waktunya di tempat tugas.
Penting untuk
diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku
tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan
dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan
Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari
pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus
berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut model ini,
motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a)
persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi;
(d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang
dihasilkan.
Sedangkan faktor
eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan
sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi
tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang
berlaku dan cara penerapannya.
sumber
- http://mymuse7.blogspot.co.id/2012/11/pandangan-motivasi-dalam-organisasi.html
- www.id.wikipedia.org